Minggu, 09 Agustus 2015

Sejarah Lagu Indonesia Raya



Oktober 1928 malam, di gedung Jl. Kramat Raya 106 Batavia, pemuda Wage Rudolf Supratman (9 Maret 1903 – 17 Agustus 1938) menyebarkan lirik konsep suatu lagu kepada hadirin di sana. Pada malam penutupan Kongres Pemoeda itu pada Desember 1928, Supratman dengan gesekan biolanya mengiringi sebarisan paduan suara, mengetengahkan lagu ciptaannya berjudulIndonesia Raja. Dua bulan kemudian ode (lagu pujian perjuangan) tersebut menjadi amat populer, terutama dipelopori anggota Kepanduan Bangsa Indonesia, sebab dalam lirik ode tersebut ada kalimat “jadi pandu ibuku”.
Supratman, putra Sersan KNIL Djoermeno Senen Sastrosoehardjo, di saat itu memang sudah dikenal sebagai komponis, serta wartawan dan penulis muda berbakat. Berkat pergaulannya cukup luas di kalangan kaum muda, hatinya tergerak untuk menciptakan ode itu, walau kemudian oleh beberapa pengamat, dikatakan lagu Indonesia Raya itu terpengaruh La Marseille – ciptaan Rouget de L’isle (1922).
Lagu ini di zaman Belanda sempat menghebohkan, tahun 1930 Indonesia Raja dilarang dinyanyikan umum, karena dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan. Supratman diinterogasi dan ditanya mengapa memakai kata “merdeka, merdeka”. Dia menjawab kata-kata itu diubah pemuda lainnya, sebab lirik aslinya “moelia, moelia”. Protes pun berdatangan, sampai volksraad turun tangan. Akhirnya laguIndonesia Raya minus lirik “merdeka, merdeka” boleh dinyanyiakn, asal dalam ruangan tertutup!
Menjelang ujung umurnya, setelah menciptakan lagu Dari Barat Sampai ke TimurBendera Kita, Ibu Kita Kartini dan lainnya, Supratman pada 7 Agustus 1938 ditangkap Belanda di Surabaya, gara-gara lagunyaMatahari Terbit yang dianggap mengandung “simpati” terhadap Kekaisaran Jepang. Lagu itu pun dilarang diperdengarkan di muka umum. Tak lama kemudian, W.R. Supratman yang dinyatakan ekstrem ini wafat.
Jepang menduduk Indonesia tahun 1942. Lagu Indonesia Raya segera dilarang dikumandangkan, walau sebelumnya Jepang sempat mengudarakan lagu ini lewat Radio Jepang – untuk mengambil hati “saudara mudanya”. Tapi setelah merasa kedudukannya goyah, Jepang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan pada tahun 1944.
Naskah asli Supratman tahun 1928, kemudian diubah beberapa kata-katanya. Namun, perubahan cukup besar terjadi pada refrain lagu 1928 : Indones’, Indones’ Moelia, Moelia Tanahkoe, negrikoe yang Koetjinta Indones’, Indones’ Moelia Moelia, Hidoeplah Indonesia Raja, menjadi: “Indonesia Raya, Merdeka Merdeka, Tanahku, Negriku yang Kucinta, Indonesia Raya, Merdeka Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya” (dalam versi 1944).
Setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia, namun sampai Agustus 1948 belum ada keseragaman, hingga dibentuklah Panitia Indonesia Raya pada 16 November 1948. Baru pada 26 Juni 1958 keluar peraturan pemerintah tentang lagu Indonesia Raya dalam enam bab khusus yang mengatur tata tertib, sampai keseragaman nada, irama, kata, dan gubahan lagu.
Inilah sekilas “riwayat” lagu Indonesia Raya kita.
(K. Tatik Wardayati, Sumber: Intisari-online.com)


Source : http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/08/sejarah-lagu-indonesia-raya

Pencarian terkait : 

Indonesia
Sejarah indonesia
Sejarah lagu indonesia
Sejarah lagu indonesia raya
Indonesia raya
Lagu indonesia raya
Sejarah
Sejarah indonesia
Sejarah indonesa raya

Jumat, 12 September 2014

Perkembangan Islam Indonesia



BAB II
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

I.                  Perkembangan Islam di Sumatera

Di Indonesia, kehadiran Islam secara lebih nyata terjadi sekitar akhir abad 13 M, yakni dengan adanya makam Sultan Malik al-Saleh, terletak di kecamatan Samudra di Aceh utara. Pada makam tersebut tertulis bahwa dia wafat pada Ramadhan 696 H/1297 M. Dalam hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua Malik Al-Saleh digambarkan sebagai penguasa pertama Kerajaan Samudra Pasai (Hill, 1960; Ibrahim Alfian, 1973, dalam artikel Ambary). Tetapi sebenarnya Sejak abad ke-7 M, kawasan Asia tenggara mulai berkenalan dengan tradisi Islam. Ini terjadi karena para pedagang muslim, yang berlayar di kawasan ini, singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di semenanjung Melayu dan nusantara
Catatan Marco Polo yang mengunjungi Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada 1292 tertulis bahwa pada proses islamisasi terjadi, persentuhan pedagang muslim dengan penduduk setempat telah terjadi disana untuk sekian lama hingga sebuah kerajaan Muslim berdiri pada abad ke-13 M, Samudra pasai. Pendiri kerajaan tersebut bisa dihubungkan dengan kelemahan kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 M sebagaimana dituturkan oleh Chou-Chu-Fei dalam catatan Ling Wa-Tai-ta (1178 M) (Tjandrasasmmita, 13-14).
Berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M merupakan bukti masuknya Islam di Sumatera, selain kerajaan Samudra Pasai juga ada kerajaan  Perlak, dan kerajaan Aceh. pada tahun 1978, peneliti Pusat Riset Arkeologi Nasional Indonesia telah menemukan sejumlah batu Nisan di situs Tuanku Batu Badan di Barus. Yang terpenting dari temuan itu adalah makam yang mencantumkan sebuah nama, yaitu Tuhar Amsuri, yang meninggal pada 19 Safar 602 H, sebagaimana ditafsirkan oleh Ahmad Cholid Sodrie dari pusat Riset Arjeologi Nasional, tapi ada penafsiran lain yang mengemukakan bahwa Tuhar Amsuri meninggal pada 19 Safar 972. Tapi dari temuan Arkeologis di barus dikatakan bahwa batu nisan Tuhar Amsuri tertanggal 602 lebih awal dari batu nisan Sultan As-Salih yang tertanggal 696 H. Ini berarti jauh sebelum kerajaan Samudra Pasai, sudah ada masyarakat Muslim yang tinggal di Barus, salah satu tempat di sekitar pantai barat Sumatera (Tjandrasasmmita,15-16).
  Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perniagaan yang terpenting di Nusantara pada abad ke- 7 M. Sehingga Sumatera Utara menjadi salah satu tempat berkumpul dan singgahnya para saudagar-saudagar Arab Islam. Dengan demikian dakwah Islamiyah berpeluang untuk bergerak dan berkembang dengan cepat di kawasan ini.
Hal ini berdasarkan catatan tua Cina yang menyebutkan  adanya sebuah kerajaan di utara Sumatera namanya Ta Shi yang telah membuat hubungan diplomatic dengan kerajaan Cina. Ta Shi menurut istilah Cina adalah istilah yang diberikan kepada orang-orang Islam. Dan letaknya kerajaan Ta Shi itu lima hari berlayar dari Chop’o (bagian yang lebih lebar dari malaka) di seberang selat Malaka. Ini menunjukkan Ta Shi dalam catatan tua Cina itu ialah Ta Shi Sumatera Utara, bukan Ta Shi Arab. Karena, Ta Shi Arab tidak mungkin di capai dalam waktu lima hari.
Islam semakin berkembang di Sumatera Utara setelah semakin ramai pedagang – pedagang muslim yang datang ke Nusantara, karena Laut Merah telah menjadi Laut Islam sejak armada roma dihancurkan oleh armada muslim di Laut Iskandariyah.
            Disamping itu , terdapat satu factor besar yang menyebabkan para pedagang Islam  Arab memilih Sumatera Utara pada akhir abad ke- 7 M. Yaitu karena terhalangnya pelayaran mereka melalui Selat Malaka karena disekat oleh tentara laut/Sriwijaya kerajaan Budha sebagai pembalasan atas serangan tentara Islam atas kerajaan Hindu di Sind. Maka terpaksalah mereka melalui Sumatera utara dengan pesisir barat Sumatera kemudian masuk selat Sunda melalui Singapura menuju Kantun, Cina.


 I.1 Kerajaan-kerajaan islam di sumatera
1. Kerajaan Samudera Pasai

Pedagang Persia, Gujarat, dan Arab pada awal abad ke-12 membawa ajaran Islam aliran Syiah ke pantai Timur Sumatera, terutama di negera Perlak dan Pasai. Saat itu aliran Syiah berkembang di Persia dan Hindustan apalagi Dinasti Fatimiah sebagai penganut Islam aliran Syiah sedang berkuasa di Mesir. Mereka berdagang dan menetap di muara Sungai Perlak dan muara Sungai Pasai mendirikan sebuah kesultanan. Dinasti Fatimiah runtuh tahun 1268 dan digantikan Dinasti Mamluk yang beraliran Syafi’i, mereka menumpas orang-orang Syiah di Mesir, begitu pula di pantai Timur Sumatera. Utusan Mamluk yang bernama Syekh Ismail mengangkat Marah Silu menjadi sultan di Pasai, dengan gelar Sultan Malikul Saleh. Marah Silu yang semula menganut aliran Syiah berubah menjadi aliran Syafi’i. Sultan Malikul Saleh digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Malikul Zahir, sedangkan putra keduanya yang bernama Sultan Malikul Mansur memisahkan diri dan kembali menganut aliran Syiah. Saat Majapahit melakukan perluasan imperium ke seluruh Nusantara, Pasai berada di bawah kekuasaan Majapahit.

1. Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh)

Menurut Marco Polo, Malik Al-Saleh adalah seorang raja yang kuat dan kaya. Ia merupakan sultan pertama Kerajaan Samudera Pasai. Awalnya, sang Sultan bernama Merah Silu. Setelah masuk Islam, ia diberi sebuah nama yang biasa digunakan Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Konon, dia diangkat menjadi sultan di Kerajaan Samudera Pasai oleh seorang Laksamana Laut dari Mesir bernama, Nazimuddin Al-Kamil. Malik Al-Saleh menikah dengan puteri raja Perlak. Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan bagaima Merah Silu memutuskan untuk memeluk agama Islam.
Menurut legenda masyarakat itu, suatu hari Malik Al-Saleh bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Setelah itulah, ia lalu memutuskan untuk masuk Islam. Ketika berkuasa, Malik Al-Saleh menerima kunjungan Marco Polo. Menurut Marco Polo, Malik Al-Saleh menghormati Kubalai Khan - penguasa Mongol di Cina.


Konon, seorang putera Malik Al-Saleh ada yang memutuskan untuk hijrah menyeberangi lautan menuju Beruas (Gangga Negara). Di wilayah itu, sang pangeran mendirikan kesultanan. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan makam Malik Al-Saleh berada di desa Beuringin, Kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah Timur Lhokseumawe.
            2. Sultan Malikul Zahir, (meninggal tahun 1326)
Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Dibawah kekuasannya Samudera Pasai mencapai kejayaannya. Di bawah kekuasaannya, Samudera Pasai mencapai kejayaannya.
Menurut catatan Ibnu Batutta (seorang musafir yang ahli hukum Islam), Al-Zahir merupakan penguasa yang memiliki ghirah belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elite kerajaan.
Bagi Ibnu Batutta, Al-zahir adalah salah satu dari tujuh raja yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang luar biasa itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa; raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa;Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Sebagai raja, Al-zahir juga merupakan sosok yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jumawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battuta.

Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa. Untuk mengenangnya, di makamnya terpatri kata-kata penghormatan: yang mulia Malik Al-Zahir, cahaya dunia sinar agama.
            3. Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383
            4. Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405
            5. Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.

2. Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
3. Kerajaan Malaka

Sesungguhnya, Kerajaan Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia, melainkan Malaysia. Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting dalam kehidupan politik dan kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara, maka Kerajaan Malaka ini perlu dibahas dalam bab ini. Kerajaan Malaka (orang Malaysia menyebutnya Melaka) terletak di jalur pelayaran dan perdagangan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan yang merdeka, Malaka termasuk wilayah Majapahit.
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Ketika di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke Pulau Singapura.

Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal dagang yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires, Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72 tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurut Sejarah Melayu, pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Aziz dari Jedah, Arab. Setelah masuk Islam, Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian sejarawan bahkan beranggapan bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia lalu digantikan oleh Sri Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu Said. Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai masa keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani (sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488. Masa kejayaan Malaka langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511. Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan mudah mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng pertahanan. Salah satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa hingga kini adalah Benteng Alfamosa. Seabad kemudian, Portugis hengkang dari Malaka karena serangan pasukan VOC dari Belanda. Orang Belanda pun tak lama berkuasa atas Malaka karena kemudian Inggris mengambil alih kekuasaan atas Malaka.


II.               Perkembangan Islam di Pulau Jawa

Sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran sembilan ulama penyebar Islam yang dikenal sebagai “Wali Songo”. Mereka mengembangkan agama Islam antara abad ke-14 hingga abad 16, menjelang dan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Para wali itu tak hanya berperan sebagai mubalig yang mengajarkan kaidah Islam kepada masyarakat dan pembesar kerajaan, tetapi juga menjadi masyarakat dan pendamping raja. Karenanya, mereka diberi gelar “Sunan” (susuhunan atau junjungan), yaitu gelar para raja di Jawa. Bukti kebesaran Wali Songo terlihat antara lain melalui peninggalan-peninggalan mereka berupa bangunan, kesenian, dan tradisi Islam di sepanjang pesisir Jawa, mulai dari Gresik di Jawa Timur. Demak di Jawa Tengah hingga Cirebon dan Banten di Jawa Barat. Contohnya, masjid Demak yaitu masjid tertua di Pulau Jawa yang didirikan para Wali.


II.1 Pendekatan Budaya Islam di Pulau Jawa

  Dalam menyiarkan agama Islam, Wali Songo menggunakan cara yang tidak dirasakan asing oleh masyarakat. Mereka memakai bentuk kesenian tradisional sebagai media dakwah dengan menyisipkan napas Islam di dalamnya. Sunan Kalijaga mengembangkan wayang purwa, yakni wayang kulit bercorak Islam. Sunan Drajat menciptakan tembang Jawa yang hingga kini masih digemari, yaitu tembang pangkur. Sunan Kalijaga menciptakan corak batik bermotif burung (kukula) yang mengandung ajaran etik agar seseorang selalu menjaga ucapannya. Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dimainkan dalam bentuk prosa.

II.2 Wali Songo di Pulau Jawa

  Sunan Muria. Ia banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan, terutama di sekitar Gunung Muria, Jawa Tengah.
  Sunan Ampel. Wali ini adalah perancang kerajaan Islam pertama di Jawa (kesultanan Demak) dan pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Murid-muridnya antara lain adalah  Raden Fatah (sultan pertama kesultanan Demak), Sunan Giri, Sunan Drajat, dan putranya sendiri: SunanBonang.
  Sunan Bonang. Ia banyak melakukan siar Islam melalui budaya. Ia terkenal sebagai pencipta gending pertama untuk menyebarkan agaman Islam di pesisir Jawa Timur.
  Sunan Kalijaga. Jasanya dalam menyebarkan Islam melalui kesenian terlihat dari seni wayang, gamelan, ukir, busana, dan sastra yang diciptakannya,
  Sunan Gresik. Ayah dari Sunan Ampel ini dikenal juga dengan nama Maulana Magribi (Syeikh Magribi) karena diduga berasal dari wilayah Magribi, Afrika Utara. Ia diyakini sebagai pelopor penyebar Islam di Jawa yang memiliki kemampuan menentukan cara yang tepat dalam menarik simpati masyarakat terhadap Islam.
  Sunan Drajat. Wali ini sangat banyak memberi perhatian pada masalah-masalah sosial. Tema Dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan.
  Sunan Giri. Ia seorang penduduk yang berjiwa demokratis. Ia mendidik melalui permainan yang berjiwa agama, misalnya melalui permainan “cublak-cublak suweng”.
  Sunan Gunung Jati. Ia dikenal sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten, Jawa Barat. Ia adalah peletak dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang Islam di Banten tahun 1525/1526.
Sunan Kudus. Panglima Kesultanan Demak dan pendiri masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, ini dikenal sebagai wali yang ahli dalam bidang ilmu agama.
  

II.3 Kerajaan Islam di Pulau Jawa

  1. Kesultanan Demak
Masjid Agung Demak yang dibangun menggunakan gaya arsitek Jawa tradisional
Kerajaan Demak adalah kesultanan islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan terpecah menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.  Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging.  Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.

A. Kehidupan Politik Kerajaan Demak

a. Raden Patah

Raden Patah dianggap sebagai pendiri dari kerajaan Demak dan merupakan orang yang berhubungan langsung dengan kerajaan Majapahit. Salah satu bukti menyebutkan bahwa beliau adalah putra dari raja Brawijaya V dari Majapahit (1468-1478). Beliau memerintah dari tahun 1500-1518. Di bawah pemerintahnya, Demak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal itu disebabkan Demak memiliki daerah pertanian yang sangat luas sebagai penghasil bahan makanan terutama beras. Oleh karena itu, Demak menjadi kerajaan agraris-maritim.
Wilayah kekuasaan Demak tak hanya sebatas pantai utara Jawa, seperti Semarang, Jepara, Tuban, dan Gresik tapi hingga ke Jambi dan Palembang di Sumatera timur.
Wali Sanga sangat membantu dalam penyebaran agama Islam di Jawa
Kerajaan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Jasa para wali dalam penyebaran agama Islam sangat besar, baik di pulau Jawa maupun daerah-daerah di luar Pulau Jawa, seperti penyebaran agama Islam ke daerah Maluku dilakukan oleh Sunan Giri, ke daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Demak yang bernama Tunggang Parangan. Pada masa pemerintahan Raden Patah, dibangun masjid Demak yang pembangunan masjid itu dibantu oleh para wali atau sunan.
Akan tetapi, ketika Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511 M, hubungan Demak dan Malaka terputus. Kerajaan Demak dirugikan oleh Portugis dalam aktivitas perdagangan.

b. Pati Unus

Pada tahun 1513 Raden Patah memerintahkan Pati Unus memimpin pasukan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Serangan itu belum berhasil, karena pasukan Portugis jauh lebih kuat dan persenjataannya lengkap. Atas usahanya itu Pati Unus mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor.

Setelah Raden Patah wafat, tahta Kerajaan Demak dipegang oleh Pati Unus. Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M. Masa pemerintahan Pati Unus tak begitu lama karena ia meninggal dalam usia yang masih sangat muda dan tak meninggalkan seorang putra mahkota. Walaupun usia pemerintahannya tak begitu lama, namun namanya cukup dikenal sebagai panglima perang yang memimpin pasukan Demak menyerang Portugis di Malaka.

c. Sultan Trenggana

Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.

B. Kesultanan Pajang

Dengan pemindahan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang maka berdirilah Kesultanan Pajang di dekat Surakarta sekarang. Sultan Adiwijaya sebagai sultan pertama. Baginda mulai membangun kerajaannya mulai dari nol.
Dalam perkembangannya Kesultanan Pajang mempunyai ciri yang berbeda dengan Kesultanan Demak. Kesultanan Demak bercirikan budaya pesisiran yaitu lebih demokratis, tidak menciptakan hubungan bertingkat-tingkat antara satu status dengan status lain, lebih rasional, dan mengutamakan nilai Islam murni. Adapun Kesultanan Pajang lebih bercirikan budaya pertanian dan pedalaman. Ciri-cirinya adalah penuh dengan pandangan mistik, tidak rasional, menciptakan hubungan bertingkat antara orang penting dengan orang tidak penting, feodalistik, mencampurkan antara nilai-nilai kejawen, Hindu-Buddha, dan Islam.
Sultan Adiwijaya memerintah sampai dengan 1582 M. Beliau menyerahkan kekuasaan kepada Aryo Pangiri, menantunya (penguasa Demak). Aryo Pangiri adalah anak Pangeran Prawoto atau cucu Sultan Trenggono. Aryo Pangiri lalu mengangkat Pangeran Benowo, anak Adiwijaya menjadi Bupati Jipang, sebuah wilayah di bawah Kesultanan Pajang.
Pangeran Benowo sangat kecewa pada Aryo Pangiri karena hanya diangkat sebagai bupati. Pangeran Benowo merasa berhak menjabat sebagai sultan menggantikan ayahnya. Ia lalu minta bantuan pada Sutawijaya, saudara angkatnya yang berkuasa di Mataram untuk melawan Aryo Pangiri. Duet Pangeran Benowo dan Sutawijaya akhirnya dapat mengalahkan Aryo Pangiri. Dalam perkembangan berikutnya, Sutawijaya mendominasi pemerintahan Pajang. Ia memang lebih cakap dan lebih berani daripada Sultan Benowo yang lebih cenderung sebagai kiai/ulama. Menyadari kelemahannya, Sultan Benowo lalu mengundurkan din dari kehidupan politik. Ia lalu menekuni profesi sebagai juru dakwah agama Islam. Ia menyerahkan takhta kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian mengangkat Gagak Bening. Pajang akhirnya sepenuhnya di bawah kendali Mataram.

C. Kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram didirikan oleh Senopati atau Sutawijaya pada 1582 M. Pusat kekuasaannya terletak di daerah selatan Yogyakarta sekarang. Semula ia hanyalah bawahan Pajang. Ia diangkat oleh Sultan Adiwijaya untuk membina masyarakat di daerah Mataram. Setelah Adiwijaya wafat, ia menguasai Pajang dengan cara pertama membantu Pangeran Benowo mengalahkan Aryo Pangiri dan kedua mengganti Pangeran Benowo dengan Gagak Bening. Melalui cara ini, ia lalu menjadikan Pajang sebagai wilayah di bawah kekuasaannya dan mengangkat diri sebagai Sultan Mataram.
Sutawijaya membangun Kerajaan Mataram dan nol. Masa pemerintahannya disibukkan oleh upaya menstabilkan pemerintahannya. Ia menghadapi perlawanan dari para bupati pesisir seperti Demak, Tuban, Pasuruan, dan Surabaya. Akan tetapi, ia dapat menyelesaikan dengan baik kecuali Surabaya.

Sutawijaya wafat pada 1601 M. Ia digantikan oleh Mas Jolang atau Panembahan Krapyak, anaknya. Mas Jolang mewarisi pemerintahan yang belum stabil. Meskipun Madiun dan Kediri yang ikut memberontak sudah bisa ditundukkan tapi Surabaya belum mau tunduk. Ia sempat minta bantuan pada VOC, kongsi dagang Belanda di Batavia, untuk membantu menundukkan Surabaya tapi tidak mendapat tanggapan.

Raden Mas Jolang/Panembahan Krapyak wafat pada 1613 M. Ia digantikan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung berhasil membangun Mataram menjadi kerajaan besar yang stabil dan kuat. Ia dapat menundukkan Surabaya. Dengan demikian, seluruh wilayah Jawa bagian timur berada di bawah kekuasaannya.

Baginda mempunyai ambisi yang kuat untuk menguasai seluruh Jawa. Oleh karena itu, Sultan Agung ingin menundukkan Banten, kesultanan yang masih merdeka, dan Batavia yang sudah dikuasai oleh Belanda melalui bendera VOC.

Sultan Agung sangat benci pada VOC, karena VOC melakukan praktik monopoli perdagangan yang sangat merugikan Mataram dan rakyat pada umumnya. Oleh karena itu, beliau bertekad mengusir VOC dari tanah Jawa. Untuk merealisasikan tekadnya tersebut, beliau melakukan persiapan penyerangan yang matang. Beliau melatih prajurit-prajurit yang handal dan sakti mandraguna, memilih panglima perang yang handal, dan melengkapi prajurit dengan persenjataan yang cukup.

Di samping itu, beliau juga mempersiapkan bahan pangan yang cukup sebagai persiapan untuk peperangan jangka panjang/memakan waktu lama. Sebelum penyerangan dilakukan, beliau mengirim ribuan petani untuk membuka lahan pertanian di sepanjang garis pantai mulai dari Kendal sampai Bekasi. Beliau memberi perintah kepada para petani tersebut untuk membuat lumbung-lumbung padi di daerah masing-masing sebagai cadangan bahan pangan bagi prajurit Mataram yang akan menyerang VOC.

Pada 1628 pasukan Sultan Agung melancarkan serangan ke Batavia melalui darat. VOC sangat kewalahan atas serangan yang dilancarkan dari berbagai arah ini. J.P Coen, Gubernur Jenderal VOC tewas dalam peristiwa ini. Belanda segera minta bantuan tentara dari Maluku. Dengan pasukan yang lebih besar, Belanda dapat melancarkan serangan balik. Pasukan Mataram mundur ke daerah Bekasi. Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika mendapatkan cadangan berasnya telah terbakar habis. Tampaknya para pengkhianat telah membocorkan rencana ini kepada Belanda. Akibatnya tentara Mataram tidak bisa bertahan lama. Serangan pertama ini gagal.

Sultan Agung tidak putus asa. Pada 1629 Sultan melancarkan serangan lagi kepada Belanda di Batavia. Belajar dan kegagalan serangan pertama, kali ini beliau membuat strategi baru. Tentara Mataram melancarkan serangan melalui laut. Tampaknya Allah swt belum berkehendak memberi kemenangan pada pasukan Sultan Agung ini. Serangan kedua pun gagal.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1646 Kesultanan Mataram berangsur-angsur mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena adanya perebutan kekuasaan di kalangan istana dan campur tangan Belanda dalam pengangkatan sultan.

Sultan Agung berjasa dalam memadukan budaya Jawa dengan Islam. Kalender Jawa yang berdasarkan peredaran matahari diganti dengan dasar peredaran bulan (hijriah). Nama-nama bulan dan han Jawa disesuaikan dengan nama bulan dan hari dalam penanggalan hijniah. Beliau menyalin kitab-kitab syariat ke dalam bahasa Jawa. Beliau juga membuat kesenian Jawa yang bernapaskan Islam.

D. Kesultanan Cirebon dan Banten

Kesultanan didirikan oleh Fatahillah. Fatahillah adalah panglima perang Kesultanan Demak. Ia juga menantu Sultan Trenggono. Saat Sultan Trenggono berkuasa di Demak, ia memerintahkan Fatahillah menyebarkan Islam ke arah barat pulau Jawa di samping untuk membendung pengaruh Portugis yang sudah menjalin kerja sama dengan Kerajaan Hindu Pajajaran. Hal ini harus dilakukan karena pada 1522 Portugis telah datang di Pajajaran di bawah pimpinan Henrique Leme mengajak kerja sama perdagangan dan membendung pengaruh Islam Demak.
Pada 1526 Demak mengirimkan pasukan ke Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah. Misi ini membawa hasil gemilang. Cirebon dapat ditaklukkan dalam waktu singkat karena mendapat bantuan dan masyarakat yang sudah memeluk Islam. Fatahillah lalu melanjutkan ekspedisi ke Banten. Di Banten pun Fatahillah mendapatkan kemenangan yang gilang gemilang. Dan Banten, ia kemudian melancarkan serangan kepada Portugis yang menguasai pelabuhan Sunda Kelapa (sekarang bernama Jakarta). Pada 22 Juni 1527 pasukan Fatahillah dapat mengalahkan pasukan Portugis yang dipimpin oleh Francisco de Sa. Nama Sunda Kelapa lalu diubah menjadi Jayakarta, yang artinya kota kemenangan.

Fatahillah kemudian menjadi Sultan Cirebon. Akan tetapi, setelah berusia 60 tahun beliau lebih banyak mencurahkan perhatian pada kegiatan dakwah Islam. Beliau wafat dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Gunung Jati Cirebon.

Kesultanan diserahkan pada anak turunnya. Akan tetapi, keadaannya makin mundur. Pada zaman Mataram, Kesultanan Cirebon dikuasai Mataram. Kemudian oleh Susuhunan Mataram diserahkan kepada VOC Belanda.

Adapun Kesultanan Banten mengalami banyak kemajuan Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai puncak kejayaannya Sultan Ageng sangat berkeinginan mengusir Belanda dari Batavia yang sejak 1602 berhasil merebut Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia Sultan sangat tidak senang pada Belanda karena memaksakan sistem monopoli perdagangan.


Di pihak lain, Belanda juga ingin menaklukkan Sultan Ageng karena menolak monopoli perdagangan. Demi mencapai maksud ini, Belanda melakukan politik devide et impera, adu domba lalu kuasai. Belanda lalu merayu Sultan Haji, anak Sultan AgengTirtayasa untuk melawan ayahnya dengan imbalan akan dinaikkan takhta. Sultan Haji terbujuk rayuan Belanda tersebut. Ia lalu memberontak kepada ayahnya sendiri dengan bantuan Belanda. Sultan Ageng menyerah dan ditangkap oleh Belanda. Beliau lalu dibawa ke Batavia dan meninggal di sana pada 1680 M.

III. Perkembangan Islam di Sulawesi
  
   Masuknya Islam di Sulawesi, tidak terlepas dari peranan Sunan Giri di Gresik. Hal itu karena sunan Giri melaksanakan pesantren yang banyak didatangi oleh santri dari luar pulau Jawa, seperti Ternate, dan Situ. Di samping itu, beliau mengirimkan murid-muridnya ke Madura, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.
Pada abad ke-16, di Sulawesi Selatan telah berdiri kerajaan Hindu Gowa dan Tallo. Penduduknya banyak yang memeluk agama Islam karena hubungannya dengan kesultanan Ternate. Pada tahun 1538, Pada masa Pemerintahan Somba Opu, kerajaan Gowa dan Tallo banyak dikunjungi oleh pedagang Portugis. Selain untuk berdagang, mereka juga bermaksud untuk mengembangkan agama katolik. Akan tetapi, Islam telah lebih dahulu berkembang di daerah itu.
Agama Islam masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, sejak masa kekuasaan Sombayya Ri Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin Awalul Islam raja Gowa ke-14. tetapi baru mengalami perkembangan pesat pada abad ke-17 setelah raja-raja Gowa dan Tallo menyatakan diri masuk Islam. Islam dinyatakan resmi sebagai agama kerajaan Gowa pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H / 20 September 1605 M. Raja Gowa yang pertama masuk Islam ialah Daeng Manrabia yang berganti nama Sultan Alauddin Awwalul Islam, sedang Raja Tallo yang pertama masuk Islam bergelar Sultan Abdullah. Di antara para muballigh yang banyak berjasa dalam menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Sulawesi, antara lain:

    Katib Tunggal,
    Datuk Ri Bandang,
    Datuk Patimang,
    Datuk Ri Tiro, dan
    Syekh Yusuf Tajul Khalwati Tuanta Samalaka

Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan Bugis, Wajo, Sopeng, Sindenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh, secara berangsur-angsur mereka menjadi penganut Islam yang setia.

Pelaut-pelaut Bugis berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis bernama Daeng mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang puterinya bernama Puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar Aceh. Sejak itu hubungan antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak pengaruh budaya Aceh di Bugis. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia

 III.1 Kerajaan Islam di Sulawesi

  1. Gowa-Tallo
Gowa-Tallo biasanya disebut dengan kerajaan Makasar. Makasar ialah nama suku bangsanya, sedangkan kerajaannya bernama Gowa-Tallo. Tallo merupakan kerajaan yang berbatasan dengan Gowa, namun dua kerajaan ini selalu bersatu, sehingga mereka menjadi kerajaan kembar. Letak kerajaan Gowa-Tallo di Semenanjung barat daya pulau Sulawesi yang sangat stategis dilihat dari sudut perdagangan rempah-rempah di kepulauan Nusantara. Rempah-rempah dari Maluku di perdagangkan di pelabuhan Gowa-Tallo, yang dibawa oleh pedagang-pedagang Makassar dari Maluku.

Para pedagang Jawa, Bugis, dan Melayu mulai membawa barang dagangannya ke Gowa-Tallo. Kerena sikap raja yang tidak pandang agama, maka kerajaan Gowa-Tallo disinggahi oleh bermacam-macam bangsa, baik bangsa Asia maupun Eropa. Semenjak Makasar tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan kerajaan Ternate yang merupakan pusat cengkeh, yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri.

Dibawah Sultan Babullah Ternate mengadakan perjanjian persahabatab dengan Gowa-Tallo. Ketika ini raja Ternate mengajak penguasa Gowa-Tallo masuk Islam, tetapi gagal. Pada masa Dato’ ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa-Tallo, agam Islam mulai masuk dalam kerajaan ini. Raja Gowa yang pertama menganut Islam ialah Sultan Alauddin sedangkan raja Tallo yang pertama mengambil gelar Abdullah dengan julukan Awalul Islam.

Tahun 1607, Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit untuk menjadikan Ilam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat. Dwitunggal Alauddin dan Abdullah ini sangat giat mengislamkan rakyat mereka dan juga memperluas daerah kerajaan mereka. Sehingga kerajaan Islam yang pertama di Sulawesi Selatan itu menguasai tidak hanya meliputi sebagian besar Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya melainkan sampai dibagian Tumur Nusa Tenggara. Kerajaan kembar Gowa-Tallo menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi yang belum menganut agama Islam seperti, kerajaan luwu yang lebih tua menerima pesan Islam tersebut dengan baik.

Namun, tidak semua penyebaran agama Islam di Sulawesi ini berjalan dengan lancar, ada beberapa kerajaan yang belum bisa menerima pesan tersebut deperti, kerajaan Wojo, Soppeng, dan Bone, tiga kerajaan ini terikat dalam hegemoni dengan Gowa-Tallo. Walaupun demikian Wojo dan Soppeng menerima ajakan, dan disertai ancaman dari Gowa-Tallo, tetapi Bone yang merupakan kerajaan bugis terbesar menolak.

Gowa-Tallo akhirnya melancarkan ekspedisi militer ke Bone, perang pun meletus ditahun 1611. Dalam perperangan ini Gowa-Tallo menang dalam penyebaran Islam. Dari keterangan di atas bisa dilihat bahwa Sultan dari kerajaan Gowa-Tallo sangat memegang tradisi yang mengatakan bahwa seorang raja harus memberikan hal baik kepada orang lain, dengan menyampaikan pesan Islam keberbagai daerah di Sulawesi, sehingga Islam dapat berkembang dengan luas di wilayah ini.

Mundurnya Kerajaan Makassar dan Bugis

Pada masa pemerintahan Hasanuddin (1653-1669), Belanda mulai menyebar di daerah ini. Sultan Hasanuddin berusaha untuk menjaga kedaulatan dan kerajaan Makassar dari cengkraman Belanda. Belanda sangat membenci Kesultanan Makassar karena, Sultan selalu mengirim angkatan laut untuk mengawal para pedagang yang berangkat dari Makassar menuju Maluku, sehingga pedagang Makassar diluar pengawasan Belanda.

Terjadi beberapa kali perperangan antara Sultan Hasanuddin dengan Belanda. Akhirnya Sultan bersedia melakukan perjanjian damai di Batavia. Setelah perjanjian tesebut, Sultan kembali membangun pertahanan dengan mengerahkan ribuan prajurit dari suku Makassar, Bone, Soppeng dan lain-lain. Namun dalam perperangan ini Sultan Hasanuddin kehilangan seorang tokoh Bugis yaitu, Arung Palakka.
Arung Palakka bersatu dengan Belanda untuk membebaskan suku Bugis dari kekuasaan Makassar. Pada tahun 1666 terjadi perang besar-besaran antara Kesultanan Makkasar yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan Belanda dipimpin oleh Cornelis Speelman yang dibantu oleh Arung Palakka. Belanda dan Arung Palakka berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin. Pada tahun 1667, Sultan Hasanuddin terpaksa melakukan perjanjian dengan Belanda, perjanjian ini sangat merugikan Kesultanan Makassar.

Karena tidak puas dengan perjanjian ini maka, pada tahun 1668 kembali terjadi perperangan antara Kesultanan Makassar dan Belanda, akhirnya benteng pertahanan terakhir Sultan Hasanuddin dapat dikuasai oleh Belanda. Sehingga pada tahun 1670 Sultan Hasanuddin wafar, pengganti Sultan Hasanuddin tidak mampu lagi mengangkat kejayaan Kesultanan Makassar, karena selalu diawasi Belanda. Jatuhnya Makassar ketangan ketangan Belanda, maka pelaut dan pedangan Bugis dan Makassar migrasi keberbagai wilayah Nusantara.


IV. Perkembangan Islam di Kalimantan

  Pada abad XVI, Islam memasuki daerah kerajaan Sukadana. Bahkan pada tahun 1590, kerajaan Sukadan resmi menjadi Giri Kusuma. Sunan Giri digantikan oleh putranya Sultam Muhammad Syarifuddin. Beliau banyak berjasa dalam mengembangkan agama Islam karena bantuan seorang mubalig bernama syaikh Syamsuddin. Sebagai Mubalig, mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk berdakwa. Islam akhirnya dapat memasuki kerajaan Kutai dan tersebar di Kalimantan Timur pada permulaan abad XVI M.
  Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu.
Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
  Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari.
  Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha.
  Terbentuknya Negara Dipa dan Negara Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan.
  Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
  Berbeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-luasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan me-nyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
  Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab. Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara.
  Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu.
Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat.
  Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan.
Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.
  Pengembangan Islam di Kutai dilakukan oleh dua orang muslim dari makassar yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, dengan cepat islam berkembang di Kutai, termasuk raja mahkota memeluk islam. Kemudian pengembangan islam dilanjutkan ke daerah-daerah pedalaman pada pemerintahan Aji di Langgar. Pada tahun 1550 M, di Sukadan (Kalimantan Barat) telah berdiri kerajaan islam. Ini berarti jauh sebelum tahun itu rakyat telah memeluk agama islam, Adapun yang meng-islamkan daerah Sukadana adalah orang Arab islam yang datang dari Sriwijaya. Di Sukadana Sultan yang masuk islam adalah Panembahan Giri Kusuma (1591) dan Sultan Hammad Saifuddin (1677).

IV. Kerajaan yang ada di Kalimantan

I.                   Kerajaan Banjar(Banjarmasin)

Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam di Pulau Kalimantan, tepatnya Kalimantan Selatan. Tidak ada yang tahu pasti sejarah berdirinya Kerajaan Banjar, namun ada sumber yang menyatakan bahwa, kerajaan Banjar berdiri tahun 1520 tetapi menjadi kerajaan Islam baru enam tahun kemudian (1526 M). Kerajaan Banjar sudah muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang pusatnya di hulu sungai Nagara. Kerajaan Dipa pernah menjalin hubungan dengan Majapahit, sebagaimana tercatat dalam kitab Nagarakartagama.

Menurut Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin, konon diceritakan bahwa kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh  Daha sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudra. Hal tersebut menimbulkan perpecahan/konflik antara Tumenggung yang merupakan anak Raden Sukarama dengan Raden Samudra. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden Samudra dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.

Raden Samudra sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut kampung Oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota Banjarmasin karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, Raden Samudera melihat potensi Banjarmasin dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Daha. Kekuatan Banjarmasin untuk melakukan perlawaann terhadap Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai raja, tepatnya dinobatkan  oleh Patih Masih, Muhur, Balit, dan Kuwin.

Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudra minta bantuan kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan dan sejak itulah Raja Samudra menjadi pemeluk Islam tanggal, 24 September 1526 bertepatan 6 Zulhijjah 932 H dengan gelar Sultan Suryanullah/Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja). Sedangkan yang mengajarkan ajaran Islam kepada Raden Samdra, Patih, dan rakyatnya adalah seorang penghulu Demak. Menurut sumber lain tepatnya A.A Cense Islamisasi terjadi tahun 1550 M. Sultan Suryanullah meluaskan wilayah kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah taklukan biasanya mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah.

Tahun 1546 Sultan Suryanullah wafat dan digantikan oleh anak tertuanya yaitu Sultan Rahmatullah yang masih mengirimkan upeti ke Demak. Tahun 1570 Sultan Rahmatullah digantikan oleh putranya yang bergelas Sultan Hidayatullah. Patih-patih yang menobatkan Raden Samudra telah tiada, untuk mangkubumi Raden Hidayatullah adalah Kyai Anggadipa. Tahun 1595 Raden Hidayatullah meninggal dan digantikan oleh Sultan Marhum yang bergelar Sultan Mustain Billah. Sultan inilah yang memindahkan ibukota kerajaan ke Amuntai. Masa pemerintahan Sultan Mustain Billah  pada awal abad 17 ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan dapat menghimpun 50.000 prajurit. Begitu kuatnya kerajaan Banjar, sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai daerah-daerah kerajaan Kalbar, Kaltim dan Kalteng. Tanggal 07 Juni 1607 Banjarmasin kedatangan pedagang Belanda Gillis Michielse-zoon diundang ke darat, tetapi akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Kemudian Keraton/ibu kota ke sebelah hulu tepatnya  Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuwin, banjarmasin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612 sebagai ajang balas dendam. Perdamaian terjadi lagi tahun 1635 tetapi hubungan tidak lama.

Sejak pengaruh Belanda politik monopoli perdagangan masuk di Kalimantan Selatan dan terus-menerus terjadi perselisihan baik dengan pihak Belanda maupun di lingkungan Banjar sendiri, ditambah masalah perdagangan Inggris. Terutama sejak Abad ke-18 sejak Belanda membuat Benteng di Pulau Tatas tahun 1747 bahkan pada abad ke-19 , tepatnya tanggal 04 Mei 1826 melalui kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultaan Adam, dalam hal ini Pulau Tatas diserahkan kepada Belanda, juga Daerah Kuwin Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpal, dan sebagainya. Abad ke-18 (1710-1812) ulama besar lahir di Martapura yang bernama Muhammad Arsyad b’abdullah. Sultan Tahlil Allah (1700-1745) membiayai Arsyad belajar di Haramayn selama beberapa tahun. Sepulangnya ia mengajarkan fiqih dengan kitabnya Sabil Al-Muhtadin, ia juga ahli tasawuf dengan karyanya Khaz Al-Ma’rifah.

Sultan Adam wafat tanggal 01 November 1857, pergantian Sultan-Sultan dengan campur tangan Politik Belanda mulai menimbulkan pertentangan-pertentangan antara keluarga raja-raja. Lebih-lebih setelah dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Seman. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus terutama tahun 1859-1863 merupakan perjuangan baik rakyat maupun para pahlawan, antara lain Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, dan Haji Nasrun. Dan perlawanan terhadap penjajah Belandaitu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.


E. Perkembangan Islam di Maluku dan sekitarnya

Penyebaran Islam di Maluku tidak terlepas dari jasa para santri Sunan Drajat yang berasal dari Ternate dan Hitu. Islam sudah dikenal di Ternate sejak abad ke-15. Pada saat itu, hubungan dagang dengan Indonesia barat, khususnya dengan Jawa berjalan dengan lancar. Selain berdagang, para pedagang juga melakukan dakwah.
Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian yang disiarkan oleh raja-raja Islam Maluku, para pedagang, dan para mubalignya.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.

     Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih).

V. Kerajaan Islam Di Maluku

V.1 Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate        
    (mengikuti nama ibukotanya)

     Adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.

B. Kesultanan Tidore
     Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.

     Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.



C. Kesultanan Bacan
     Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan.

D. Kerajaan Tanah Hitu

     adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.
      Awal mula kedatangan
     Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn.
ABAD KE-13
     Penduduk lokal Kampung Wawane, Provinsi Maluku, merupakan penganut animisme. Lalu seabad kemudian, hal tersebut mulai berubah seiring dengan kedatangan pedagang Jawa ke provinsi ini. Pedagang-pedagang Jawa ini tidak hanya berdagang, namun juga menyebarkan ajaran Islam. Mereka mencoba mengenalkan Islam kepada masyarakat lokal di Maluku, dan kepercayaan animisme sedikit demi sedikit mulai memudar di Kampung ini.
Masjid Tertua di Indonesia Ada di Maluku
     Perkembangan Islam di Maluku selanjutnya ditandai dengan dibangunnya Masjid Wapaue pada 1414. Masjid ini terletak di kampung Wawane, dan menurut sejarah setempat mesjid ini dibangun saudagar-saudagar kaya yang bernama Perdana Jamillu dan Alahulu.
     Masjid ini dinamakan Masjid Wapaue karena terletak di bawah pohon mangga. Dalam bahasa setempat, "wapa" berarti "bawah" dan "uwe" berarti mangga. Keseluruhan bangunan masjid ini terbuat dari kayu sagu yang dilekatkan satu sama lain tanpa menggunakan paku.
     Pada 1614, masjid ini disarankan untuk dipindahkan lokasinya ke Kampung Tehalla, 6 kilometer dari sebelah timur Kampung Wawane. Relokasi ini dipimpin Imam Rajali, seorang kyai bersama para pengikutnya yang disebut Kelompok Dua Belas Tukang. namun, 50 tahun kemudian atau pada 1664, mesjid ini secara ajaib telah berpindah ke Kaitetu, dan tidak ada seorangpun yang memindahkannya. Para penduduk setempat percaya hal ini merupakan suatu mukjizat atau keajaiban.
     Hingga kini, Masjid Wapaue ini masih terawat dengan baik. tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah umat muslim, tapi juga sebagai galeri museum yang berisi koleksi-koleksi antik peninggalan kebudayaan muslim maluku kuno antara lain Bedug yang berumur seratus tahun, Al-Quran antik yang ditulis tangan, sebuah kaligrafi tulisan arab yang ditaruh di sebuah lempengan metal dan sebuah timbangan kayu yang digunakan untuk menimbang zakat.
     Mesjid tua Wapauwe ini terletak dekat dengan Benteng Amsterdam di desa Kaitetu, Kabupaten Hila, Provinsi Maluku. Untuk mengunjungi mesjid ini dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan menggunakan bis umum dari Ibukota Maluku, kota Ambon.


BAB III
I. Manfaat yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia :
a.     Mengetahui dan memahami sejarah perkembangan Islam di Indonesia
b.     Mengetahui dan memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
c.     Menjadi cermin untuk memacu kehidupan yang lebih baik
d.     Mempelajari sejarah agar dapat melakukan perubahan yang lebih baik
e.     Menghargai kerja keras para pahlawan bangsa
f.     Kehadiran para pedagang Islam yang telah berdakwah dan memberikan pengajaran Islam di bumi Nusantara turut memberikan nuansa baru bagi perkembangan pemahaman atas suatu kepercayaan yang sudah ada di nusantara ini.
g.     Hasil karya para ulama yang berupa buku sangat berharga untuk dijadikan sumber pengetahuan.
h.     Kita dapat meneladani Wali Songo telah berhasil dalam hal-hal seperti berikut :
1.     Menjadikan masyarakat gemar membaca dan mempelajari Al Quran.
2.     Mampu membangun masjid sebagai tempat ibadah dalam berbagai bentuk atau arsitektur hingga ke seluruh pelosok Nusantara.
3.     Mampu memanfaatkan peninggalan sejarah, termasuk situs-situs peninggalan para ulama, baik berupa makam, masjid, maupun peninggalan sejarah lainnya.
4.     Seorang ulama atau ilmuwan dituntut oleh Islam untuk mempraktikkan tingkah laku yang penuh keteladanan agar terus dilestarikan dan dijadikan panutan oleh generasi berikutnya.
5.     Para ulama dan umara bersatu padu mengusir penjajah meskipun dengan persenjataan yang tidak sebanding.
3. Cara masuknya Islam di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8 M yang bertepatan dengan abad ke-1 atau ke-2 H. Rute yang dilewati adalah jalur Utara dan Selatan.
Z  Jalur Utara, dengan rute :Arab (Mekah dan Madinah) meliputi ; Damaskus – Bagdad – Gujarat – Srilangka – Indonesia
Z  Jalur Selatan, dengan rute : Arab (Mekah dan Madinah) meliputi ; Yaman – Gujarat – Srilangka – Indonesia
Daerah yang mula-mula menerima Agama Islam adalah Pantai Barat pulau Sumatera. Dari tempat itu, Islam kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Beberapa tempat penyebarannya adalah :
a.     Pariaman di Sumatera Barat
b.     Gresik dan Tuban di Jawa Timur
c.     Demak di Jawa Tengah
d.     Banten di Jawa Barat
e.     Palembang di Sumatera Selatan
f.     Banjar di Kalimantan Selatan
g.     Makassar di Sulawesi Selatan
h.     Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo di Maluku
i.      Sorong di Irian Jaya
Penyebaran Islam di Indonesia yang berjalan secara damai tanpa menimbulkan kekerasan merupakan cerminan hakikat ajaran Islam yang menjadi rahmatan lil-alamin.
Adapun penyebaran Islam yang berjalan damai tersebut menggunakan dua cara, yaitu : Perdagangan dan Perkawinan.

II.                Hikmah  perkembangan Islam di Indonesia
Semboyang yang diajarkan Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara. Mula-mula dengan cara damai, tapi karena tidak bisa lalu dengan cara menempu peperangan.
Allah SWT berfirman, “dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”
Masyarakat Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta dibimbing agar menghambakan diri hanya kepada Allah, Tuhan yang maha Esa.
Rasa persamaan dan rasa keadilan yang diajarkan islam mampu mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut sistem kasta dan diskriminasi menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat, martabat dan hak-hak yang sama.
Semangat cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan”Hubbul-watan minaliiman” (cinta tanah air sebagian dari iman) mampu mengubah cara berpikir masyarakat  Indonesia, khususnya para pemudanya, yang dulunya bersifat sectarian (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis. Hal ini ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda yang bernama Jong Indonesia pada bulan februari 1927 dan dikumandangkannya sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928.


Kata Kunci   :

Perkembangan Islam di Indonesia
Sejarah Kesultanan di Indonesia
Cara Perkembangan di Indonesia
Hikmah Sejaranh Islam di Indonesia
Manfaat Sejarah Islam di Indonesia